Kesadaran hidup sebagai Seorang Mukmin
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Bagi seorang mukmin, hidup adalah segala rupa ragam aktivitas untuk memenuhi kebutuhan vital/primer (konsumsi ruhani), kebutuhan penunjang/sekunder (konsumsi fisik dan emosioal) serta kebutuhan hiburan/tersier (kemewahan dan keberlebihan harta dunia) Maka jika di sekitar anda, ada masyarakat termasuk pejabat lebih mementingkan serta hanya mengejar kebutuhan hiburan, boleh jadi patut dipertanyakan deklarasi kemukminannya.
Sekarang musim lovers dan haters terhadap tokoh tertentu, maklumlah negara kita memilih sistem demokrasi yang megusung kebebasan berekspresi, lucunya para lovers dan haters terhadap tokoh tertentu ini berseliweran di media sosial yang keberadaannya sangat familiar dengan kehidupan kita. Terus terang, karena kita hidup di NKRI jadi kalo ada situs-situs penebar fitnah, pemantik kebencian dan disebar-sebar, patut diwaspadai mereka itu bernyawa abal-abal, dan perlu diragukan rasa kecintaannya sebagai mukmin yang hidup di tanah air Indonesia
Hidup itu digerakkan oleh roda kesadaran sebagai bukti dan perwujudan rasa syukur sehingga manusia mampu meningkatkan kualitas kedewasaan kemukminannya di hadapan Allah, atas segala pemberian dan karunia yang telah diterimanya.
Jika aktifitas hidup kita tidak didorong oleh nilai-nilai kesadaran, apa yang bakal terjadi? tentu saja disebut orang yang hidup penuh dengan kegilaan, termasuk di dalamnya gila hormat, gila harta, gila pangkat, gila jabatan, ke sanahnya menjadi tidak waras.
Hidup itu menggiring semua fasilitas primer, sekunder dan tersier ke satu arah yaitu tujuan kebahagiaa di akhirat sebagai perjalanan akhir manusia yang ditempuh belasan ribu tahun panjangnya.
Jika seluruh fasilitas hidup yang diberika Allah digiring hanya ke satu titik yang sifatnya sementara yaitu dunia, maka di manakah kehebatan seorang mukmin? Apakah mereka yang mengaku mukmin bersedia divonis hey ikrarmu, ibadahmu, sujudmu, dan seluruh tata karyamu kau giring untuk menjilati nenek renta. Sadarkah kamu, hai orang mukmin???
Walloohu a'lam
Bandung, 28 Mei 2016
Penulis : Syantrie Aliefya